Khawarij mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifat yang menonjol.
Sebaik-baik orang yang meluruskan sifat-sifat ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengabarkan sifat-sifat kaum ini dalam hadits-haditsnya
yang mulia.
Disini akan dipaparkan penjelasan sifat-sifat tersebut dengan
sedikit keterangan, hal itu mengingat terdapat beberapa perkara penting, antara
lain :
- Dengan
mengetahui sifat-sifat ini akan terbukalah bagi kita ciri-cirighuluw (berlebih-lebihan)
dan pelampauan batas mereka, dan tampaklah di mata kita sebab-sebab serta
alasan-alasan pendorong yang menimbulkan hal itu. Dalam hal yang demikian
itu akan menampakkan faedah yang tak terkira.
- Keberadaan
mereka akan tetap ada hingga di akhir zaman, seperti dikabarkan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam satu riwayat. Oleh karenanya
mengetahui sifat-sifat mereka adalah merupakan suatu perkara yang penting.
- Dengan
mengetahui sifat mereka dan mengenali keadaannya akan menjaga diri dari terjatuh
ke dalamnya. Mengingat barang siapa yang tidak mengetahui keburukan
mereka, akan terperangkap di dalamnya. Dengan mengetahui sifat mereka,
akan menjadikan kita waspada terhadap orang-orang yang mempunyai
sifat-sifat tersebut, sehingga kita dapat mengobati orang yang tertimpa
dengannya.
Berkenan dengan hal ini akan kami paparkan sifat-sifat tersebut
berdasarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang mulia.
1. Suka Mencela dan Menganggap Sesat
Sifat yang paling nampak dari Khawarij adalah suka mencela
terhadap para Aimatul huda (para
Imam), menganggap mereka sesat, dan menghukum atas mereka sebagai orang-orang
yang sudah keluar dari keadilan dan kebenaran. Sifat ini jelas tercermin dalam
pendirian Dzul Khuwaishirah terhadap Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan perkataannya : “Wahai Rasulullah berlaku
adil lah”. (Hadits Riwayat Bukhari VI/617, No. 3610, VIII/97, No. 4351, Muslim
II/743-744 No. 1064, Ahmad III/4, 5, 33, 224)
Dzul Khuwaishirah telah menganggap dirinya lebih wara’ daripada
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan menghukumi RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
orang yang curang dan tidak adil dalam pembagian. Sifat yang demikian ini
selalu menyertai sepanjang sejarah. Hal itu mempunyai efek yang sangat buruk
dalam hukum dan amal sebagai konsekwensinya. Berkata Ibnu Taimiyah tentang
Khawarij : “Inti kesesatan mereka adalah keyakinan mereka berkenan denganAimmatul huda (para
imam yang mendapat petunjuk) dan jama’ah muslimin, yaitu bahwa Aimmatul huda dan jama’ah muslimin semuanya sesat. Pendapat
ini kemudian di ambil oleh orang-orang yang keluar dari sunnah, seperti Rafidhah dan yang lainnya. Mereka
mengkatagorikan apa yang mereka pandang kedzaliman ke dalam kekufuran”.
(Al-Fatawa : XXVIII/497)
2. Berprasangka Buruk (Su’udzan)
Ini adalah sifat Khawarij lainnya yang tampak dalam hukum Syaikh
mereka Dzul Khuwaishirah si pandir dengan tuduhannya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
ikhlas dengan berkata :
“Artinya : Demi Allah, sesungguhnya ini adalah suatu pembagian
yang tidak adil dan tidak dikehendaki di dalamnya wajah Allah”. (Hadits Riwayat
Muslim II/739, No. 1062, Ahmad IV/321)
Dzul Khuwaishirah ketika melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammembagi
harta kepada orang-orang kaya, bukan kepada orang-orang miskin, ia tidak
menerimanya dengan prasangka yang baik atas pembagian tersebut.
Ini adalah sesuatu yang mengherankan. Kalaulah tidak ada alasan
selain pelaku pembagian itu adalah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam cukuplah hal itu mendorong untuk berbaik sangka.
Akan tetapi Dzul Kuwaishirah enggan untuk itu, dan berburuk sangka disebabkan
jiwanya yang sakit. Lalu ia berusaha menutupi alasan ini dengan keadilan. Yang
demikian ini mengundang tertawanya iblis dan terjebak dalam perangkapnya.
Seharusnya seseorang itu introspeksi, meneliti secara cermat
dorongan tindak-tanduk dan maksud tujuan serta waspada terhadap hawa nafsunya.
Hendaklah berjaga-jaga terhadap manuver-manuver iblis, karena dia banyak
menghias-hiasi perbuatan buruk dengan bungkus indah dan rapi, dan membaguskan
tingkah laku yang keji dengan nama dasar-dasar kebenaran yang mengundang
seseorang untuk menentukan sikap menjaga diri dan menyelamatkan diri dari tipu
daya setan dan perangkap-perangkapnya.
Jika Dzul Khuwaishirah mempunyai sedikit saja ilmu atau sekelumit
pemahaman, tentu tidak akan terjatuh dalam kubangan ini.
Berikut kami paparkan penjelasan dari para ulama mengenai
keagungan pembagian Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan hikmahnya yang tinggi dalam menyelesaikan
perkara.
Berkata Syaikh Islam Ibnu Taimiyah : “Pada tahun peperangan
Hunain, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam membagi ghanimah (rampasan
perang) Hunain pada orang-orang yang hatinya lemah (muallafah qulubuhum) dari penduduk Najd dan
bekas tawanan Quraisy seperti ‘Uyainah bin Hafsh, dan beliau tidak memberi
kepada para Muhajirin dan Anshar sedikitpun.
Maksud Beliau memberikan kepada mereka adalah untuk mengikat hati
mereka dengan Islam, karena keterkaitan hati mereka dengannya merupakan maslahat
umum bagi kaum muslimin, sedangkan yang tidak beliau beri adalah karena mereka
lebih baik di mata Beliau dan mereka adalah wali-wali Allah yang bertaqwa dan
seutama-utamanya hamba Allah yang shalih setelah para Nabi dan Rasul-rasul.
Jika pemberian itu tidak dipertimbangkan untuk maslahat umum, maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
akan memberi pada aghniya’, para
pemimpin yang dita’ati dalam perundangan dan akan memberikannya kepada
Muhajirin dan Anshar yang lebih membutuhkan dan lebih utama.
Oleh sebab inilah orang-orang Khawarij mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
dikatakan kepada beliau oleh pelopornya : “Wahai Muhammad, berbuat adillah.
Sesungguhnya engkau tidak berlaku adil”. dan perkataannya : “Sesungguhnya
pembagian ini tidak dimaksudkan untuk wajah Allah …..”. Mereka, meskipun banyak
shaum (berpuasa), shalat, dan bacaan Al-Qur’annya, tetapi keluar dari As-Sunnah
dan Al-Jama’ah.
Memang mereka dikenal sebagai kaum yang suka beribadah, wara’ dan
zuhud, akan tetapi tanpa disertai ilmu, sehingga mereka memutuskan bahwa
pemberian itu semestinya tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang
berhajat, bukan kepada para pemimpin yang dita’ati dan orang-orang kaya itu,
jika didorong untuk mencari keridhaan selain Allah -menurut persangkaan
mereka-.
Inilah kebodohan mereka, karena sesungguhnya pemberian itu menurut
kadar maslahah agama Allah. Jika pemberian itu akan semakin mengundang
keta’atan kepada Allah dan semakin bermanfaat bagi agama-Nya, maka pemberian
itu jauh lebih utama. Pemberian kepada orang-orang yang membutuhkan untuk
menegakkan agama, menghinakan musuh-musuhnya, memenangkan dan meninggikannya
lebih agung daripada pemberian yang tidak demikian itu, walaupun yang kedua
lebih membutuhkan”. (Lihat Majmu’ Fatawa : XXVIII/579-581, dengan sedikit
diringkas).
Untuk itu hendaklah seseorang menggunakan bashirah, lebih memahami
fiqh dakwah dan maksud-maksud syar’i, sehingga tidak akan berada dalam
kerancuan dan kebingungan yang mengakibatkan akan terhempas, hilang dan
berburuk sangka serta mudah mencela disertai dengan menegakkan
kewajiban-kewajiban yang terpuji dan mulia.
3. Berlebih Dalam Beribadah
Sifat ini telah ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam
sabdanya :
“Artinya : Akan muncul suatu kaum dari umatku yang membaca
Al-Qur’an, yang mana bacaan kalian tidaklah sebanding bacaan mereka sedikitpun,
tidak pula shalat kalian sebanding dengan shalat mereka sedikitpun, dan tidak
pula puasa kalian sebanding dengan puasa mereka sedikitpun”. (Muslim II/743-744
No. 1064).
Berlebihan dalam ibadah berupa puasa, shalat, dzikir, dan tilawah
Al-Qur’an merupakan perkara yang masyhur di kalangan orang-orang Khawarij.
Dalam Fathu Al-Bari, XII/283 disebutkan : “Mereka (Khawarij) dikenal sebagai qura’ (ahli membaca Al-Qur’an), karena
besarnya kesungguhan mereka dalam tilawah dan ibadah, akan tetapi mereka suka
menta’wil Al-Qur’an dengan ta’wil yang menyimpang dari maksud yang sebenarnya.
Mereka lebih mengutamakan pendapatnya, berlebih-lebihan dalam zuhud dan khusyu’
dan lain sebagainya”.
Ibnu Abbas juga telah mengisyaratkan pelampauan batas mereka ini
ketika pergi untuk mendebat pendapat mereka. Beliau berkata : “Aku belum pernah
menemui suatu kaum yang bersungguh-sungguh, dahi mereka luka karena seringnya
sujud, tangan mereka seperti lutut unta, dan mereka mempunyai gamis yang murah,
tersingsing, dan berminyak. Wajah mereka menunjukan kurang tidur karena banyak
berjaga di malam hari”. (Lihat Tablis Iblis, halaman 91). Pernyataan ini
menunjukkan akan ketamakan mereka dalam berdzikir dengan usaha yang keras.
Berkata Ibnul Jauzi : “Ketika Ali Radhiyallahu ‘Anhu meninggal,
dikeluarkanlah Ibnu Maljam untuk dibunuh. Abdullah bin Ja’far memotong kedua
tangan dan kedua kakinya, tetapi ia tidak mengeluh dan tidak berbicara. Lalu
dicelak kedua matanya dengan paku panas, ia pun tidak mengeluh bahkan ia
membaca :
“Artinya : Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”. (Al-’Alaq :
1-2)
Hingga selesai, walaupun kedua matanya meluluhkan air mata.
Kemudian setelah matanya diobati, ia akan dipotong lidahnya, baru dia mengeluh.
Ketika ditanyakan kepadanya : “Mengapa engkau mengeluh ?. “Ia menjawab ; “Aku
tidak suka bila di dunia menjadi mayat dalam keadaan tidak berdzikir kepada
Allah”. Dia adalah seorang yang ke hitam-hitaman dahinya bekas dari sujud,
semoga laknat Allah padanya”. (Tablis Iblis, hal. 94-95).
Mekipun kaum Khawarij rajin dalam beribadah, tetapi ibadah ini
tidak bermanfa’at bagi mereka, dan mereka pun tidak dapat mengambil manfaat
darinya. Mereka seolah-olah bagaikan jasad tanpa ruh, pohon tanpa buah,
mengingat ahlaq mereka yang tidak terdidik dengan ibadahnya dan jiwa mereka
tidak bersih karenanya serta hatinya tidak melembut. Padahal disyari’atkan
ibadah adalah untuk itu. Berfirman yang Maha Tinggi :
“Artinya : ….. Dan tegakkanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar ……”. (Al-Ankabut :
45)”Artinya : ….. Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (Al-Baqarah : 183)
Tidaklah orang-orang bodoh tersebut mendapatkan bagian dari qiyamu al-lail-nya kecuali hanya jaga
saja, tidak dari puasanya kecuali lapar saja, dan tidak pula dari tilawah-nya kecuali parau
suaranya.
Keadaan Khawarij ini membimbing kita pada suatu manfaat seperti
yang dikatakan Ibnu Hajar tentangnya : “Tidak cukuplah dalam ta’dil(menganggap adil) dari keadaan lahiriahnya,
walau sampai yang dipersaksikan akan keadilannya itu pada puncak ibadah,
miskin, wara’, hingga diketahui keadaan batinnya”. (Lihat Fathu Al-Bari
XII/302)
4. Keras Terhadap Kaum Muslimin
Sesungguhnya kaum Khawarij dikenal bengis dan kasar, mereka sangat
keras dan bengis terhadap muslimin, bahkan kekasaran mereka telah sampai pada
derajat sangat tercela, yaitu menghalalkan darah dan harta kaum muslimin serta
kehormatannya, mereka juga membunuh dan menyebarkan ketakutan di tengah-tengah
kaum muslimin. Adapun para musuh Islam murni dari kalangan penyembah berhala
dan lainnya, mereka mengabaikan, membiarkan serta tidak menyakitinya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan sifat
mereka ini dalam sabdanya :
“Artinya : ….. Membunuh pemeluk Islam dan membiarkan penyembah
berhala ….”. (Hadits Riwayat Bukhari, VI/376, No. 3644, Muslim II/42 No. 1064)
Sejarah telah mencatat dalam lembaran-lembaran hitamnya tentang
Khawarij berkenan dengan cara mereka ini. Di antara kejadian yang mengerikan
adalah kisah sebagai berikut : “Dalam perjalanannya, orang-orang Khawarij
bertemu dengan Abdullah bin Khabab. Mereka bertanya : “Apakah engkau pernah
mendengar dari bapakmu suatu hadits yang dikatakan dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ceritakanlah kepada kami tentangnya”. Berkata : “Ya, aku
mendengar dari bapakku, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan tentang fitnah. Yang duduk ketika itu lebih baik dari pada yang
berdiri, yang berdiri lebih baik dari pada yang berjalan, dan yang berjalan
lebih baik dari yang berlari. Jika engkau menemukannya, hendaklah engkau
menjadi hamba Allah yang terbunuh”. Mereka berkata : “Engkau mendengar hadits
ini dari bapakmu dan memberitakannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Setelah mendengar jawaban tersebut, mereka
mengajaknya ke hulu sungai, lalu memenggal lehernya, maka mengalirlah darahnya
seolah-olah seperti tali terompah. Lalu mereka membelah perut budak wanitanya
dan mengeluarkan isi perutnya, padahal ketika itu sedang hamil.
Kemudian mereka datang ke sebuah pohon kurma yang lebat buahnya di
Nahrawan. Tiba-tiba jatuhlah buah kurma itu dan diambil salah seorang di antara
mereka lalu ia masukkan ke dalam mulutnya. Berkatalah salah seorang di antara
mereka : “Engkau mengambil tanpa dasar hukum, dan tanpa harga (tidak membelinya
dengan sah)”. Akhirnya ia pun meludahkannya kembali dari mulutnya. Salah
seorang yang lain mencabut pedangnya lalu mengayun-ayunkannya. Kemudian mereka
melewati babi milik Ahlu Dzimmah, lalu ia penggal lehernya kemudian di seret
moncongnya. Mereka berkata, “Ini adalah kerusakan di muka bumi”. Setelah mereka
bertemu dengan pemilik babi itu maka mereka ganti harganya”. (Lihat Tablis
Iblis, hal. 93-94).
Inilah sikap kaum Khawarij terhadap kaum muslimin dan orang-orang
kafir. Keras, bengis, kasar terhadap kaum muslimin, tetapi lemah lembut dan
membiarkan orang-orang kafir.
Jadi mereka tidak dapat mengambil manfa’at dari banyaknya tilawah
dan dzikir mereka, mengingat mereka tidak mengambil petunjuk dengan
petunjuk-Nya dan tidak menapaki jalan-jalan-Nya. Padahal sang Pembuat Syari’at
telah menerangkan bahwa syari’atnya itu mudah dan lembut. Dan sesungguhnya yang
diperintahkan supaya bersikap keras terhadap orang kafir dan lemah lembut
terhadap orang beriman. Tetapi orang-orang Khawarij itu membaliknya. (Lihat
Fathul Bari, XII/301)
5. Sedikitnya Pengetahuan Mereka Tentang Fiqih
Sesungguhnya kesalahan Khawarij yang sangat besar adalah kelemahan
mereka dalam penguasaan fiqih terhadap Kitab Allah dan Sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Yang kami maksudkan adalah buruknya pemahaman mereka,
sedikitnya tadabbur dan merasa terikat dengan golongan mereka, serta tidak
menempatkan nash-nash dalam tempat yang benar.
Dalam masalah ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menerangkan kepada kita dalam sabdanya :
“Artinya : …. Mereka membaca Al-Qur’an, tidak melebihi
kerongkongannya”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mempersaksikan akan
banyaknya bacaan/tilawah mereka terhadap Al-Qur’an, tetapi bersamaan dengan itu
mereka di cela. Kenapa ? Karena mereka tidak dapat mengambil manfaat darinya
disebabkan kerusakan pemahaman mereka yang tumpul dan penggambaran yang salah
yang menimpa mereka. Oleh karenanya mereka tidak dapat membaguskan
persaksiannya terhadap wahyu yang cemerlang dan terjatuh dalam kenistaan yang
abadi.
Berkata Al-Hafidzh Ibnu Hajar : “Berkata Imam Nawawi, bahwa yang
dimaksud yaitu mereka tidak ada bagian kecuali hanya melewati lidah mereka,
tidak sampai pada kerongkongan mereka, apalagi ke hati mereka. Padahal yang
diminta adalah dengan men-tadaburi-nya
supaya sampai ke hatinya”. (Lihat Fathul Baari, XII/293).
Kerusakan pemahaman yang buruk dan dangkalnya pemahaman fiqih
mereka mempunyai bahaya yang besar. Kerusakan itu telah banyak membingungkan
umat Islam dan menimbulkan luka yang berbahaya. Dimana mendorong pelakunya pada
pengkafiran orang-orang shalih. menganggap mereka sesat serta mudah mencela
tanpa alasan yang benar. Akhirnya timbullah dari yang demikian itu perpecahan,
permusuhan dan peperangan.
Oleh karena itu Imam Bukhari berkata : “Adalah Ibnu Umar menganggap
mereka sebagai Syiraaru Khaliqah (seburuk-buruk
mahluk Allah)”. Dan dikatakan bahwa mereka mendapati ayat-ayat yang diturunkan
tentang orang-orang kafir, lalu mereka kenakan untuk orang-orang beriman”.
(Lihat Fathul Baari, XII/282). Ketika Sa’id bin Jubair mendengar pendapat Ibnu
Umar itu, ia sangat gembira dengannya dan berkata : “Sebagian pendapat
Haruriyyah yang diikuti orang-orang yang menyerupakan Allah dengan mahluq (Musyabbihah) adalah firman Allah Yang Maha Tinggi :
“Artinya : Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (Al-Maaidah :
44)
Dan mereka baca bersama ayat di atas :
“Artinya : Kemudian orang-orang yang kafir terhadap Rabb-Nya
mempersekutukan”. (Al-An’aam : 1)
Jika melihat seorang Imam menghukumi dengan tidak benar, mereka
akan berkata : “Ia telah kafir, dan barangsiapa yang kafir berarti menentang
Rabb-Nya dan telah mempersekutukan-Nya, dengan demikian dia telah musyrik”.
Oleh karena itu mereka melawan dan memeranginya. Tidaklah hal ini terjadi,
melainkan karena mereka menta’wil (dengan ta’wil yang keliru, pen) ayat ini …”.
Berkata Nafi’: “Sesungguhnya Ibnu Umar jika ditanya tentang
Haruriyyah, beliau menjawab bahwa mereka mengkafirkan kaum muslimin,
menghalalkan darah dan hartanya, menikahi wanita-wanita dalam ‘iddahnya. Dan
jika di datangkan wanita kepada mereka, maka salah seorang diantara mereka akan
menikahinya, sekalipun wanita itu masih mempunyai suami. Aku tidak mengetahui
seorangpun yang lebih berhak diperangi melainkan mereka”. (Lihat Al-I’tisham,
II/183-184).
Imam Thabari meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia menyebutkan tentang Khawarij dan apa yang ia
dapati ketika mereka membaca Al-Qur’an dengan perkataannya: “Mereka beriman
dengan yang muhkam dan
binasa dalam ayatmutasyabih“. (Lihat
Tafsir Ath-Thabari, III/181).
Pemahaman mereka yang keliru itu mengantarkan mereka menyelisihi
Ijma’ Salaf dalam banyak perkara, hal itu dikarenakan oleh kebodohan mereka dan
kekaguman terhadap pendapat mereka sendiri, serta tidak bertanya kepada Ahlu
Dzikri dalam perkara yang mereka samar atasnya.
Sesungguhnya kerusakan pemahaman mereka yang dangkal dan sedikitnya penguasaan fiqih menjadikan mereka sesat dalam istimbat-nya, walaupun mereka banyak membaca dan berdalil dengan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawi, akan tetapi tidak menempatkan pada tempatnya. Benarlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memberitakan tentang mereka :
Sesungguhnya kerusakan pemahaman mereka yang dangkal dan sedikitnya penguasaan fiqih menjadikan mereka sesat dalam istimbat-nya, walaupun mereka banyak membaca dan berdalil dengan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawi, akan tetapi tidak menempatkan pada tempatnya. Benarlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memberitakan tentang mereka :
“Artinya : …..Mereka membaca Al-Qur’an, mereka menyangka hal itu
untuk mereka padahal atas mereka”. (Hadits Riwayat Muslim)”Artinya : Mereka
berkata dengan ucapan sebaik-baik mahluq dan membaca Al-Qur’an, tetapi tidak
melebihi dari kerongkongan mereka”. (Bukhari, VI/618 No. 3611, Muslim, II/746
No. 1066)”Artinya : Membaguskan perkataannya tetapi buruk perbuatannya ….
Mengajak kepada kitab Allah, tetapi tidaklah mereka termasuk di dalamnya
sedikit pun”. (Hadits Riwayat Ahmad, III/224)
6. Muda Umurnya dan Berakal Buruk
Termasuk perkara yang dipandang dapat mengeluarkan dari jalan yang
lurus dan penuh petunjuk adalah umur yang masih muda (hadaatsah as-sinn) dan berakal buruk (safahah al-hil). Yang demikian itu sesuai dengan sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Akan keluar pada akhir zaman suatu kaum, umurnya masih
muda, sedikit ilmunya, mereka mengatakan dari sebaik-baik manusia. Membaca
Al-Qur’an tidak melebihi kerongkongannya. Terlepas dari agama seperti
terlepasnya anak panah dari busurnya”. (Hadits riwayat Bukhari, VI/618, No.
3611, Muslim, II/746 No. 1066)
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar : “Ahdaatsul
Asnaan artinya
“mereka itu pemuda (syabaab)”, dan yang dimaksud dengan sufaha-a al-ahlaamadalah “akal mereka rusak (‘uquluhum radi-ah)”. Berkata Imam Nawawi ;
“Sesungguhnya tatsabut (kemapanan)
dan bashirah (wawasan)
yang kuat akan muncul ketika usianya sempurna, banyak pengalaman serta kuat
akalnya”. (Lihat Fathul Baari, XII/287).
Umur yang masih muda, jika dibarengi dengan akal yang rusak akan
menimbulkan perbuatan yang asing dan tingkah laku yang aneh, antara lain :
1.
Mendahulukan pendapat mereka sendiri daripada pendapat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya yang mulia Radhiyallahu
‘alaihim.
2.
Meyakini bahwa diri merekalah yang benar, sedangkan para imam yang
telah mendapat petunjuk itu salah.
3.
Mengkafirkan sebagian atas sebagian yang lain hanya karena
perbedaan yang kecil saja.
Ibnul Jauzi menggambarkan kepandiran dan kerusakan mereka dengan
perkataannya : “Mereka menghalalkan darah anak-anak, tetapi tidak menghalalkan
makan buah tanpa dibeli. Berpayah-payah untuk beribadah dengan tidak tidur pada
malam hari (untuk shalat lail) serta mengeluh ketika hendak di potong lidahnya
karena khawatir tidak dapat berdzikir kepada Allah, tetapi mereka membunuh Imam
Ali Radhiyallahu ‘anhu dan menghunus pedang kepada kaum muslimin (sebagaimana
keluhan Ibnu Maljam -pen). Untuk itu tidak mengherankan bila mereka puas
terhadap ilmu yang telah dimiliki dan merasa yakin bahwa mereka lebih
pandai/alim daripada Ali Radhiyallahu ‘anhu. Hingga Dzul Kwuaishirah berkata
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berbuat adillah,
sesungguhnya engkau tidak adil”. Tidak sepatutnya Iblis dicontoh dalam
perbuatan keji seperti ini. Kami berlindung kepada Allah dari segala kehinaan”.
(Lihat Tablis Iblis, hal. 95).
Wallahu a’lam bish-Shawab
Maraji’
1.
Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dikumpulkan dan
disusun oleh Abdurrahman bin Qasim dan anaknya, Daarul Ifta’, Riyadh, cet. I
tahun 1397H.
2.
Fathu al-Baari bi Syarhi Shahih al-Bukhari, Imam al-Hafidzh Ahmad
bin Ali bi Hajar Majdi al-Asqalani, susunan Muhammad Fu’ad Abdul Baaqi,
penerbit : Salafiyah.
3.
Shahih Muslim bin Syarhi an-Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syarf
an-Nawawi Daarul at-Turats al-Arabi, Beirut, cet. II. Tahun 1392H.
4.
Tablis Iblis, oleh Imam Jamaluddin Abdul farj Abdurahman bin al
Jauzi, cet. Daarul Kutub al-’Ilmiyah-Beirut, cet. II Tahun 1368H.
5.
Al-Bidayah wa an-Nihayah, oleh al-Hafidzh ‘Imaddudin Abul Fida’
Ismail bin Katsir, cet. Maktabah al-Ma’arif, Beirut, cet. II Tahun 1977M.
6.
Al-I’tisham, al-’Allaamah Abu ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad
al-Lakhami asy-Syathibi, Tahqiq Muhammad Rasyid Ridha, cet. al-Maktabah
at-Tijariyah al-Kubra, Qaahirah.
7.
Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Aayi al-Qur’an, al-Imam Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir ath-Tabhari al-Halabi, Qahirah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar